KATA PENGANTAR
Seiring
dengan perkembangan jaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada awalnya dipegang
teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku, kini sudah hampir
punah. Pada umumnya masyarakat merasa gengsi dan malu apabila masih mempertahankan dan menggunakan
budaya lokal atau budaya daerah. Bahkan, generasi muda jaman sekarang merasa
asing dan tidak begitu mengenali
kesenian kebudayaannya sendiri. Kebanyakan masyarakat memilih untuk
menampilkan dan menggunakan kesenian dan budaya modern daripada budaya yang
berasal dari daerahnya sendiri yang sesungguhnya justru budaya daerah atau
budaya lokal lah yang sangat sesuai dengan kepribadian bangsanya.
Mereka
lebih memilih dan berpindah ke budaya asing yang belum tentu sesuai dengan
keperibadian bangsa. bahkan masyarakat lebih merasa bangga terhadap budaya
asing daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri..
Tanpa
mereka sadari bahwa budaya daerah merupakan faktor utama terbentuknya
kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah yang mereka miliki merupakan sebuah
kekayaan bangsa yang sangat bernilai tinggi dan perlu dijaga kelestarian dan
keberadaanya oleh setiap individu di masyarakat. Pada umumnya mereka tidak
menyadari bahwa sesungguhnya kebudayaan merupakan jati diri bangsa yang
mencerminkan segala aspek kehidupan yang berada didalalmnya.
Besar
harapan saya, semoga dengan dibuatnya makalah yang berjudul Seni Budaya
Sisingaan yang didalamnya membahas tentang sejarah dan filosofi Kesenian
Sisingaan ini menjadi salah satu sarana agar masyarakat dapat lebih mengenal
Kesenian Sisingaan dan menyadari betapa
berharganya sebuah kebudayaan bagi suatu bangsa, yang akhirnya akan membuat
masyarakat menjadi merasa bangga terhadap budaya daerahnya sendiri.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai
macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut
kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu
bukti bahwa Indonesia merupakan negara
yang kaya akan budaya.
Tidak
bisa kita pungkiri, bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya
kebudayaan yang lebih global, yang biasa
kita sebut dengan kebudayaan nasional.
Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh
terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang
bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap
kebudayaan daerah / kebudayaan lokal.
Kebudayaan
merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas
dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangs
Karena
kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga,
memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu,
dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan
oleh setiap suku bangsa.
B.
Maksud
dan Tujuan
Karena
menjaga, memelihara dan melestarikan kebubayaan merupakan kewajiban setiap
individu, maka dalam realisasinya saya mencoba menyusun makalah yang berjudul
Seni Budaya Sisingaan yang didalamnya mengulas tentang sejarah dan filosofi
kesenian Sisingaan sebagai ciri khas dan wujud kekayaan kebudayaan Kabupaten
Subang/Jawa Barat. Penyusunan makalah ini bertujuan agar pembaca mengetahui
bahwa Kesenian Sisingaan merupakan suatu karya kesenian rakyat yang kaya akan seni dan makna filosofis,
sehingga masyarakat dapat mengenal Kesenian Sisingaan ini secara dalam dan luas
sebagai langkah awal agar masyarakat dapat merasa bangga terhadap suatu karya seni dan budaya yang dimiliki
oleh daerahnya sendiri sehingga dengan sendirinya masyarakat merasa ingin untuk
melestarikan dan menjaga seni dan budayanya sendiri.
Asal Usul
Sisingaan adalah suatu kesenian khas
masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menampilkan 2-4 boneka singa yang diusung
oleh para pemainnya sambil menari. Di atas boneka singa yang diusung itu
biasanya duduk seorang anak yang akan dikhitan atau seorang tokoh masyarakat.
Ada beberapa versi tentang asal-usul kesenian yang tumbuh dan berkembang di
kalangan masyarakat Jawa Barat ini. Versi pertama mengatakan bahwa sisingaan
muncul sekitar tahun 70-an. Waktu itu di anjungan Jawa Barat di TMII
ditampilkan kesenian gotong singa atau sisingaan yang bentuknya masih
sederhana. Dan, dari penampilan di anjungan Jawa Barat itulah kemudian kesenian
sisingaan menjadi dikenal oleh masyarakat hingga saat ini.
Versi kedua mengatakan bahwa
kesenian sisingaan diciptakan sekitar tahun 1840 oleh para seniman yang berasal
dari daerah Ciherang, sekitar 5 km dari Kota Subang. Waktu itu, Kabupaten
Subang pernah menjadi “milik” orang Belanda dan Inggris dengan mendirikan P
& T Lands. Hal ini menyebabkan seolah-olah Subang menjadi daerah
pemerintahan ganda, karena secara politis dikuasai oleh Belanda, tetapi secara
ekonomi berada di bawah pengaruh para pengusaha P & T Lands. Akibatnya,
rakyat Subang menjadi sangat menderita. Dalam kondisi semacam ini, kesenian
sisingaan lahir sebagai suatu bentuk perlawanan rakyat terhadap kedua bangsa
penjajah tersebut. Dan, untuk menegaskan bahwa kesenian sisingaan adalah suatu
bentuk perlawanan, maka digunakan dua buah boneka singa yang merupakan lambang
dari negara Belanda dan Inggris. Oleh sebab itu, sampai hari ini dalam setiap
permainan sisingaan selalu ditampilkan minimal dua buah boneka singa.
Dalam perkembangan selanjutnya,
kesenian sisingaan bukan hanya menyebar ke daerah-daerah lain di Kabupaten
Subang, melainkan juga ke kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, seperti
Kabupaten Bandung, Purwakarta dan Sumedang. Selain menyebar ke beberapa daerah,
kesenian ini juga mengalami perkembangan, baik dalam bentuk penyempurnaan
boneka singa, penataan tari, kostum pemain, maupun waditra dan lagu-lagu yang
dimainkan.
Pemain
Para pemain sisingaan umumnya adalah laki-laki dewasa yang tergabung dalam sebuah kelompok yang terdiri atas: 8 orang penggotong boneka singa (1 boneka digotong oleh 4 orang), seorang pemimpin kelompok, beberapa orang pemain waditra, dan satu atau dua orang jajangkungan (pemain yang menggunakan kayu sepanjang 3-4 meter untuk berjalan). Para pemain ini adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus, baik dalam menari maupun memainkan waditra. Keterampilan khusus itu perlu dimiliki oleh setiap pemain karena dalam sebuah pertunjukan sisingaan yang bersifat kolektif diperlukan suatu tim yang solid agar semua gerak tari yang dimainkan sambil menggotong boneka singa dapat selaras dengan musik yang dimainkan oleh para nayaga.
Para pemain sisingaan umumnya adalah laki-laki dewasa yang tergabung dalam sebuah kelompok yang terdiri atas: 8 orang penggotong boneka singa (1 boneka digotong oleh 4 orang), seorang pemimpin kelompok, beberapa orang pemain waditra, dan satu atau dua orang jajangkungan (pemain yang menggunakan kayu sepanjang 3-4 meter untuk berjalan). Para pemain ini adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus, baik dalam menari maupun memainkan waditra. Keterampilan khusus itu perlu dimiliki oleh setiap pemain karena dalam sebuah pertunjukan sisingaan yang bersifat kolektif diperlukan suatu tim yang solid agar semua gerak tari yang dimainkan sambil menggotong boneka singa dapat selaras dengan musik yang dimainkan oleh para nayaga.
Tempat dan Peralatan Permainan
Kesenian sisingaan ini umumnya
ditampilkan pada siang hari dengan berkeliling kampung pada saat ada acara
khitanan, menyambut tamu agung, pelantikan kepala desa, perayaan hari
kemerdekaan dan lain sebagainya. Durasi sebuah pementasan sisingaan biasanya
memakan waktu cukup lama, bergantung dari luas atau tidaknya kampung yang akan
dikelilingi.
Peralatan yang digunakan dalam
permainan sisingaan adalah: (1) dua atau empat buah usungan boneka singa.
Rangka dan kepala usungan boneka-boneka singa tersebut terbuat dari kayu dan
bambu yang dibungkus dengan kain serta diberi tempat duduk di atas punggungnya.
Sedangkan, untuk bulu-bulu yang ada di kepala maupun ekor dibuat dari benang
rafia. Sebagai catatan, dahulu usungan yang berbentuk singa ini terbuat dari
kayu dengan bulu dari kembang kaso dan biasanya dibuat secara dadakan pada
waktu akan mengadakan pertunjukan. Jadi, dahulu sisingaan tidak bersifat
permanen, tetapi hanya sekali digunakan kemudian dibuang; (2) seperangkat
waditra yang terdiri dari: dua buah kendang besar (kendang indung dan kendang
anak), sebuah terompet, tiga buah ketuk (bonang), sebuah kentrung (kulanter),
sebuah gong kecil, dan sebuah kecrek.; dan (3) busana pemain yang terdiri dari:
celana kampret/pangsi, iket barangbang semplak, baju taqwa dan alas kaki
tarumpah atau salompak.
Pertunjukan Sisingaan
Pertunjukan sisingaan diawali dengan
kata-kata sambutan yang dilakukan oleh pemimpin kelompok. Setelah pemimpin
kelompok memberikan kata sambutan, barulah anak yang akan dikhitan atau tokoh
masyarakat yang akan diarak dipersilahkan untuk menaiki boneka singa.
Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu-lagu yang berirama
dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Kemudian, sejumlah 8 orang pemain
akan mulai menggotong dua buah boneka singa (satu boneka digotong oleh 4
orang).
Setelah para penggotong boneka singa
siap, maka sang pemimpin akan mulai memberikan aba-aba agar mereka mulai
melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan bersamaan. Para penggotong
boneka itu segera melakukan gerakan-gerakan akrobatis yang cukup mendebarkan.
Gerakan-gerakan tarian yang biasa dimainkan oleh para penggotong boneka singa
tersebut adalah: igeul ngayun glempang, pasang/kuda-kuda, mincid, padungdung,
gugulingan, bangkaret, masang, sepakan dua, langkah mundur, kael, ewag,
jeblang, depok, solor, sesenggehan, genying, putar taktak, nanggeuy singa,
angkat jungjung, ngolecer, lambang, pasagi tilu, melek cau, nincak rancatan,
dan kakapalan.
Sedangkan, lagu-lagu yang dimainkan
oleh juru kawih untuk mengiringi tarian biasanya diambil dari kesenian Ketuk
Tilu, Doger, dan Kliningan, seperti: Keringan, Kidung, Titipatipa, Gondang,
Kasreng, Gurudugan, Mapay Roko, Kembang gadung, Kangsring, Kembang Beureum,
Buah Kawung, Gondang, Tenggong Petit, Sesenggehan, Badudud, Tunggul Kawing,
Samping Butut, Sireum Beureum, dan lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet
Rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong
dan lain sebagainya).
Pertunjukan sisingaan ini dilakukan
sambil mengelilingi kampung atau desa, hingga akhirnya kembali lagi ke tempat
semula. Dan, dengan sampainya para penari di tempat semula, maka pertunjukan
pun berakhir.
Nilai Budaya
Seni sebagai ekspresi jiwa manusia
sudah barang tentu mengandung nilai estetika, termasuk kesenian tradisional
sisingaan yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Ciherang, Kabupaten Subang.
Namun demikian, jika dicermati secara mendalam sisingaan tidak hanya mengandung
nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang pada gilirannya dapat
dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya.
Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja sama, kekompakan, ketertiban, dam
ketekunan. Nilai kerja sama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan
warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin
dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan
ketekunan tercermin dari penguasaan gerakan-gerakan tarian. (ali gufron)